Konsep Harta dalam Rumah Tangga
Oleh: Ustad Gilang Pangestu, Founder Sekolah Pra Nikah Online

Bismillahirrahmanirrahim
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam bersabda

_“Dinar yang engkau infakkan di jalan Allah, dinar yang engkau infakkan untuk membebaskan budak, dinar yang engkau sedekahkan kepada orang miskin, dan dinar yang engkau nafkahkan kepada keluargamu, pahala yang paling besar adalah dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu.”_

*(HR. Muslim, Ahmad, Baihaqi)*

Salah satu kesalahan manajemen rumah tangga hari ini adalah bercampur baurnya harta antara istri dan suami. Hal ini sangat buruk terutama bila pernikahan tersebut menemui ujungnya, seperti bercerai atau meninggal. Saat bercerai, dengan tanpa dasar harta rumah tangga dibagi dua lalu mantan suami dan istri masing-masing dapat satu bagian. Ini adalah hal yang sangat dzolim, apalagi bila harta suami atau istri berjumlah sangat timpang saat pernikahan, lalu dengan perceraian harta itu mendadak dibagi dua begitu saja. Kerancuan lainnya adalah misalkan saat seseorang meninggal dan meninggalkan harta yang banyak, maka pasangannya secara dzolim mengambil harta pasangannya yang telah meninggal. Padahal pada harta tersebut bisa jadi ada jatah waris milik keluarganya yang lain. Kerancuan lainnya adalah saat suami memiliki istri lebih dari satu, lalu tidak jelas batasan antara istri-istri tersebut. Inilah mengapa kita harus betul-betul paham mana harta istri, dan mana harta suami.

Harta yang dimiliki istri, baik sebelum dan sesudah pernikahan, maka itu adalah sepenuhnya milik istri. Bahkan mahar pernikahan adalah milik istri seutuhnya. Tidak bisa harta istri dicampur dengan suami. Tugas suami adalah memberikan nafkah pada istri dalam dua bentuk. Pertama, adalah harta untuk operasional rumah tangga. Harta tersebut statusnya dimiliki oleh suami namun untuk keperluan seluruh rumah, seperti makan, pakaian, anak, listrik, dst. Kedua, adalah harta untuk istri. Harta untuk istri adalah milik istri seutuhnya diluar kebutuhan istri dan penghuni rumah lainnya. Harta ini bebas digunakan istri baik untuk konsumsinya, untuk diberikan pada orang lain, atau untuk ditanamkan pada modal usaha seperti kontrakan atau saham. Suami tidak berhak meminta harta tersebut kembali pada istrinya. Bahkan saat suami meninggal, seluruh keluarga suami dan anak tidak berhak meminta harta istri tersebut.

Konsekuensi dari nafkah model ini adalah kejelasan hak milik barang. Hal ini agar tidak terjadi pertengkaran saat masalah waris. Saat suami bercerai dengan istrinya, maka harta istri tetap milik istri. Tidak ada jatah warisan pada adik-kakak suami bahkan anak atas harta istri. Konsekuensi lain adalah bila suami meninggal, maka harta suami dibagikan sesuai ketentuan waris. Istri bisa dapat hanya 1 per 8 bagian saja pada kondisi tertentu, yang mana kebanyakan waris biasanya akan jatuh pada anak laki-laki suami.

Terlalu luas untuk membahas urusan harta dan waris. Penulis tidak mungkin menjelaskannya di sini. Permasalahan inti dari ilmu ini adalah umumnya kaum muslimin tidak mengetahuinya. Sehingga, istri pasrah saja tidak diberikan jatah nafkah harta selain operasional rumah tangga. Kemudian, pihak istri tidak pernah merumuskan ini saat sebelum menikah, yang waktu itu seharusnya didiskusikan kesepakatan nafkah. Konsekuensi lain dari tidak tau ilmu ini adalah istri secara dzolim memakan harta suaminya yang sudah meninggal padahal dalam harta tersebut mayoritas adalah milik ahli waris yang lain.

Wallahu A’lam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lahaulla Walla Quwwata Illa Billahilaliyil Adziim